Laman

Rabu, 26 Mei 2010

FERTILITAS

(KELAHIRAN)

A Pengertian

Fertilitas adalah kemampuan seorang istri hamil dan seorang suami bisa menghamili atau hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita

B. Konsep- Konsep Fertilitas

1. Lahir hidup (live birth adalah suatu kelahiran seorang bayi tanpa memperhitungkan lamanya di dalam kandungan, dimana si bayi menunjukkan tanda- tanda kehidupan, misanyal: bernafas, ada denyut jantungnya atau denyut tali pusat atau gerakan gerakan otot.

2. Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang berumur paling sedikit 28 minggu, tanpa menunjukkan tanda tanda kehidupan.

3. Abortus yaitu kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan kurang dari 28 minggu. Ada 2 macam abortus yang disengaja (induced) dan tidak di sengaja (spontaneous). Induced abortion dapat berupa :

a. Berdasar alasan medis, misalnya: karena mempunyai penyakit jantung yang beratsehingga membahayakan jiwa si-ibu

b.Tidak berdasar alasan medis.

4. Masa reproduksi: (cildbearing age) Masa dimana wanita mampu melahirkan, yang disebut juga usia subur (15-49 tahun).

C. Persoalan– Persoalan Dalam Pengukuran Fertilitas

Angka fertilitas diukur berdasarkan pembagian jumlah kejadian (event) dengan penduduk yang menanggung resiko melahirkan (expose to risk).Walaupun demikian ada beberapa persoalan yang dihadapi dalam pengukuran fertilitas yang tidak dijumpai dalam pengukuran mortalitas.

1. Suatu angka (rate) menunjukkan ukuran untuk suatu jangka waktu. Angka fertilitas menunjukkan dua pilihan jangka waktu. Pertama untuk jangka waktu pendek, biasanya 1 tahun. Sedangkan pilihan kedua adalah jumlah kelahiran selama masa reproduksi.

2. Suatu kelahiran melibatkan kedua orang tuanya, sehingga memungkinkan timbulnya keinginan untuk mengukur fertilitas berdasarkan sifat-sifat ibu, ayah dan kedua orangtuanya. Namun informasi yng di kumpulkan, biasanya hanya yang berhubungan dengan si ibu. Walaupun demikian cara yang dipakai untuk pengukuran fertilitas terhadap wanita bisa juga dipakai untuk mengukur fertilitas dari pria.

3. Penentuan penduduk yang exposed to risk di dalam pengukuran fertilitas sangat sukar. Tidak setiap orang memiliki resiko melahirkan. Walaupun yang masih kanak kanak dan orang tua sangat mudah di pisahkan, akan tetapi tidak semua wanita yng berumur diantara kedua kelompok tersebut menanggung resiko melahirkan.

4. Sangat sukar membedakan live birth (lahir hidup) dan still birth (lahir mati).

5. Melahirkan lebih dari satu kali hal yang bisa terjadi pada seorang istri. Oleh karena itu ada unsur “pilihan”antara melahirkan lagi atu tidak. Pilihan ini tergantung pada beberapa hal seperti pendidikan, jumlah anak yng telah mereka miliki dan lain lain.

D Ukuran Dasar

Ada dua macam pendekatan di dalam fertilitas. Pendekatan tersebut adalah Yearly performance yaitu mencerminkan fertilitas dari suatu kelompok penduduk atau berbagai kelompok penduduk untuk jangka waktu satu tahun. Sering disebut juga “Current Fertility”. Yearly performance masih dibagi lagi menjadi 4 yaitu :

1. Crude Birth Rate (CBR) atau Angka Kelahiran Kasar yaitu banyaknya kelahiran selama setahun tiap penduduk pada pertengahan tahun dengan kostanta 1000. Kebaikan dari perhitungan ini hanya memerlukan keterangan tentang jumlah anak yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Kelemahannya adalah tidak memisahkan penduduk laki-laki dan perempuan yang masih kanak-kanak dan yang berumur 50 tahun ke atas. Rumus CBR adalah

B

CBR = ——— . k

P

Keterangan : B = Banyaknya kelahiran selama satu tahun

P = Banyaknya penduduk pada pertengahan tahun

K = Bilangan konstan, biasanya 1000.

2. General Fertility Rate (GFR) atau angka Kelahiran Umum yaitu banyaknya kelahiran tiap seribu wanita yang berumur 15-49 atau 15-44 tahun. Kebaikan dari perhitungan ini lebih cermat daripada CBR karena hanya memasukkan wanita yang berumur 15-49 tahun atau sebagai penduduk yang “exposed to risk”. Kelemahannya ukuran ini tidak membedakan resiko melahirkan dari berbagai kelompok umur, sehingga wanita yangn berumur 40 tahun dianggap memepunyai risiko melahirkan yang sama besarnya dengan wanita yang berumur 40 tahun. Rumus dari GFR adalah

B B

GFR = ——— . k atau GFR = ——— . k

Pf Pf

15-44 15-44

Keterangan :

B =Banyaknya kelahiran selama satu tahun

Pf (15-49)=Banyaknya penduduk wanita yang berumur 14-49 pada pertengahan tahun

Pf (15-44) = Banyaknya penduduk wanita 14-44 pada pertengahan tahun

k = bilangan konstan

3. Age Specific Fertility Rate (ASFR) atau Angka Kelahiran menurut Kelompok Umur yaitu banyaknya kelahian tiap seribu wanita pada kelmpok umur tertentu. Kebaikannya ukurannya lebih cermat karena sudah membagi penduduk yang exposed to risk ke dalam berbagai kelompok umur, dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor dan pembuatan analisis perbedaan fertilitas menurut berbagai karakteristik wanita. Kelemahannya ukuran ini membutuhkan data yang terperinci dan menunjukkan ukuran fertilitas untuk keseluruhan wanita umur 15-49 tahun. Rumus dari ASFR adalah

bi

ASFRi = ─── . k ( i = 1-7)

Pfi

Keterangan :

bi = banyaknya kelahiran di dalam kelompok umur i selama satu tahun

Pfi = banyaknya wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun

k = bilangan konstan

4. Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total yaitu jumlah dari ASFR, dengan catatan bahwa umur dinyatakan dalam satu tahunan. Kebaikan dari perhitungan ini adalah ukuran untuk seluruh wanita usia 15-49 tahun, yang dihitung berdasarkan angka kelahiran menurut kelompok umur.

Pendekatan yang terakhir adalah Reproductive History. Pendekatan ini meliputi jumlah anak yang pernah dilahirkan yaitu mencerminkan banyaknya kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok wanita selama reproduksinya dan hubungan dalam bentuk rasio antara jumlah anak di bawah 5 tahun dan jumlah penduduk wanita usia reproduksi.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fertilitas

Faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya yang mempengaruhi fertilitas akan ada kaitannya dengan ketiga tahap reproduksi. Faktor-faktor yang langsung memiliki kaitan dengan ketiga tahap tersebut “ variabel antara”. Variabel antara tersebur terdiri atas :

a) Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan kelamin adalah umur memulai hubungan kelamin, selibat permanen (proporsi wanita yang tak pernah mengadakan hubungan kelamin), lamanya berstatus kawin, abstinensi sukarela, abstinensi terpaksa ( misal sakit, berpisah sementara) dan frekuensi senggama.

b) Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya konsepsi antar lain fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang tidak disengaja, pemakaian kontrasepsi, dan strerilisasi atau fekunditas dan infekunditas yang disengaja.

c) Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan yautu mortalitas karena sebeb-sebab tidak sengaja dan yang disengaja.

F Studi Perbedaan Fertilitas di Indonesia

a) Tempat tinggal wanita saat pencacahan. Perbedaan fertilitas menurut tempat tinggal, menunjukkan bahwa fertilitas di daerah kota sedikit lebih tinggi daripada di pedesaan. Hal ini diakibatkan karena tingkat fertilitas di kota disebabkan oleh tingginya tingkat “memory lapse” wanita pedesaaan yang tinggal di daerah kota. Mengingat perbedaan hanya sedikit, ini juda dimungkinkan oleh konsep urban atau rural yang dipakai. Konsep tersebut lebih menekankan pada fasilitas fisik di suatu daerah daripada cara hidup penduduk yang tinggal di daerah tersebut

b) Tingkat Pendidikan, pada dasarya makin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh wanita, makin rendah fertilitasnya. Pada intinya hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat fertilitas berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya.

c) Umur Perkawinan Pertama, bahwa makkin muda seorang melakukan perkawinan makin panjang masa reproduksinya maka dapat diharapkan makin muda seseorang melangsungkan perkawinannya makin banyak pula anak yang dilahirkan, jadi hubungan antara umur perkawinan dan fertilitas negatif .

d) Pengalaman Bekerja, ukuran yang dipakai untuk factor pengalaman bekerja berbeda-beda, missal jenis pekerjaan, lapangan pekerjaan, status pekerjaan, kegiatan yang biasanya dilakukan.. Beradsaran penelitian, wanita yag mengurus rumah tangga saja cenderung untuk memiliki anak yang lebih banyak daripada wanita yang bekerja.

SUMBER :

· Bogue,Donald J,:Principle of Demography.,John Willey&Sons,Inc.New York,London,Sidney,Toronto,Copyright,1969

· Suradji,Budi : “faktor-faktor penentu fertilitas di Indonesia, sebuah pandangan umum. Dalam buku “Peranan Demografi dalam Pembangunan, kenangan untuk Prof.N.Iskandar. Lembaga Dengan FEUI,1980

· Dasar-Dasar Demografi.Jakarta:Lembaga Demoggrafi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kamis, 20 Mei 2010

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warga negara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘iussoli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘iussoli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.

Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkandi negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi warga negara Indonesia yang sedang bermukim dinegara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua orang tuanya berkewarganegaraan Indonesia.

Di beberapa Negara yang menganut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada factor pertalian seseorang dengan status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orang tuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orang tuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puterimereka.

Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi) .Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah. Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai literatur mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah diberbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan dengan cara registrasi saja.

Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan kedua saja. Sebagai contoh, banyak warga negara Indonesia yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status kewarganegaraan Republik Indonesia. Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhanadaripada proses naturalisasi. Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya tidak disamakan dengan seorang warga negara asing yang ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.

Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada orang yang berstatus ‘stateless’tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.

Indonesia sebagai negara yang pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’,mengatur kemungkinan warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran. Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia dan memiliki keturunan di Indonesia. Terhadap anak-anak mereka ini, sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja diterima sebagai warganegara Indonesia karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama sekali.

PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN

Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia dimasa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara warga negara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara (naturalborn citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warga Negara Indonesia.

Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warga Negara Republik Indonesia itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warga negara asing. Tetapi, jika yang bersangkutan tetap sebagai warga negara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai warga negara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warga negara Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Dengan sendirinya, apabila hal inidikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami dalam konteks pengertian ‘WargaNegara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen diskriminatif dalam hokum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warga negara asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era reformasi dewasa ini.